Rabu, 09 November 2011

Gara-gara Salah Asuhan

Jika harga peluru naik, hidup kami bisa lebih tenang. Entah mengapa orang-orang itu sangat senang meluncurkan peluru ke badan kami, lalu membawa kami pergi. Tapi semua yang pergi tidak pernah kembali.

Aku tidak pernah merasakan peluru dalam tubuhku. Yang pasti, ibuku bilang aku tidak akan mau tau apa rasanya. Ayahku dulu ditembak dan dibawa oleh mereka, sampai sekarang idak kembali. Kata ibu, ayah berteriak kesakitan waktu itu. Ibu berhasil lari dengan benda besi itu ditangannya, yang sampai sekarang masih ada.

Sejujurnya aku tidak mengerti mengapa ibu bersih keras tidak membiarkanku pergi terlalu jauh pada siang hari apalagi malam. Ibu bilang tidak mau aku kehilangan aku, ibu takut aku dibawa oleh mereka. Padahal aku sangat ingin naik mahluk itu, yang selalu disebut teman-temanku ‘si mata terang’ karena, si Sruoy pernah melihat mahluk berkaki bulat dan bermata sangat terang dan besar itu. Sruoy bilang, suaranya besar dan mengerikan. ‘si mata terang’  juga berjalan sangat cepat. Kalau saja waktu itu sruoy tidak bersembunyi, mungkin dia sudah dibawa dan bertemu ayahku!

Aku ingin bertemu ‘si mata terang’. Aku cukup yakin dia tidak akan keberatan membawaku ke tempat dia – atau temannya – membawa ayahku. Pasti tempat ayah berada sekarang ini sangat menyenangkan sampai ayah betah dan tidak kembali kesini. Kalaupun aku harus kesakitan dulu karena benda kecil seperti yang ada di tangan ibu, tak apa lah, yang penting aku bisa bertemu ayah!


Jadi, aku berencana untuk menunggu ‘si mata terang’ mala mini. Dan aku tidak akan lari atau sembunyi. Aku akan berkenalan, lalu minta ijin untuk ikut bersamanya ke tempat ayah berada. Hanya memikirkanya saja membuat jantungku berdebar kencang! Semoga saja ‘si mata terang’ tidak seseram yang dideskripsikan si sruoy. Aku tidak pernah melihat bahkan mendengar ‘si mata terang’ itu sekalipun! Aku sangat tegang.


Aku sudah menungu disini cukup lama, kalau saja daritadi aku memperhatikan wajah bulan, mungkin aku sudah bisa menghitung semua jerawatnya! Tapi ‘si mata terang’ tidak datang malam ini.


Ketika pagi hari aku bertemu ibuku, dia tidak berbicara padaku. Aku tau dia marah padaku karena tidak kembali semalam. Tapi aku tidak perduli, biarkan saja dia marah, aku tetap ingin pergi bersama ‘si mata terang’.


Malam ini, aku menunggu di tempat yang sama, dimana aku menunggu semalam dan dimana Sruoy melihat ‘si mata terang’  beberapa minggu yang lalu. Karena malam ini gerimis, dan ibuku bilang orang-orang itu tidak suka hujan, aku merasa sedikit lega, karena kalau begitu faktanya, maka ‘si mata terang’ akan datang sendiri tanpa ditunggangi orang-orang itu.
Sambil menunggu, aku membayangkan apa yang ayah sedang lakukan ya sekarang? Mungkin tiap malam ayah tidak perlu mencari makan seperti ibu, mungkin semuanya sudah disiapkan. Lalu pada sore hari ayah berendam di kubangan lumpur sambil menikmati hangatnya matahari sore…


Tiba tiba aku melihat ibu berjalan mendekatiku. Aku terkejut sekaligus khawatir ibu akan tertembak lagi. Tapi aku terlalu kaget sampai tidak bisa bergerak bahkan bersuara. Dan tiba tiba saja ada cahaya terang yang tertuju pada ibuku, aku bisa melihat luka ibu yang sudah mengering itu dengan jelas. Secepat cahaya aku membatalkan niatku untuk berkenalan dengan ‘si mata terang’. Tiba tiba saja keberanianku menguap entah kemana. Aku terpaku disana, terlalu lemas bahkan untuk menggerakan satu ototpun. Yang bisa aku lakukan hanyalah menonton ‘si mata terang’ mendekati ibuku yang tidak berusaha lari.

Semua terjadi dengan sangat cepat, ada suara kencang, lalu ibuku langsung jatuh tak berdaya. Tapi ibu tidak berteriak kesakitan, ia tersenyum kepadaku sebelum jatuh. Dan ternyata ibuku salah, ada juga orang-orang yang datang walaupun disirami air hujan gerimis. Lalu mereka membawa ibu pergi juga.

Disini aku sendiri, entah mengapa mereka tidak menembakku, membawaku pergi, bahkan mereka tidak melihat aku. Mungkin aku benar-benar berubah menjadi batu seketika. Dan entah mengapa juga, kepergian ibu menghapuskan semua rasa penasaranku. Aku tidak ingin tau lagi dimana ayah dan ibuku akan tinggal, dan aku tidak ingin lagi berkenalan dengan ‘si mata terang’.

Tempatku memang disini, di hutan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar